Dalam dunia jurnalistik, verifikasi bukanlah hal yang remeh-temeh. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism menyatakan bahwa disiplin verifikasi membedakan esensi mutlak jurnalistik dari hanya sekadar hiburan, propaganda, fiksi, maupun seni.
Dalam era digital sekarang, derasnya informasi yang didapat dan kian beragam, membuat disiplin verifikasi menjadi tantangan bagi jurnalis untuk terhindar dari berita hoaks. Masyarakat kini bisa menikmati berbagai macam informasi di media sosial, seperti Instagram, TikTok, X (Twitter), Facebook, dan aplikasi lainnya dalam format tertulis, video, bahkan live reporting.
Namun pada era banjirnya informasi, banyak konten di media sosial yang tidak mengindahkan disiplin verifikasi. Berdasarkan temuan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi), tercatat 1.932 ribu konten hoaks beredar pada 2024. Urutan lima teratas dari konten hoaks tersebut adalah penipuan (890), politik (237), pemerintah (214), kesehatan (163), dan bencana (145).
Mengutip dari Program Sarjana Departemen Ilmu Komunikasi (PSDK) UI, Editor Voice of America (VoA) Steven Springer tak memungkiri bahwa kecepatan lebih dituntut pada era digital dibanding harus memverifikasi sebuah berita yang terkadang memakan waktu yang panjang.
Ia menyinggung kebiasaan media massa yang mengambil informasi atau pernyataan dari akun pribadi seseorang di media sosial. Idealnya, menurut Springer, media harus terlebih dahulu menghubungi si pemilik akun untuk memverifikasi informasi yang ditulisnya itu.
“Informasi yang salah dapat merugikan masyarakat, oleh sebab itu media harus lebih sabar dan menghabiskan lebih banyak waktu dalam proses verifikasi. Lebih baik menjadi kedua tapi benar, daripada yang pertama tapi salah,” tutur Springer saat mengisi kuliah umum di Departemen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia pada September 2022.
Menayangkan berita hoaks atau misinformasi dapat menurunkan kredibilitas, baik itu kepada jurnalis maupun medianya. Apalagi jika misinformasi terjadi beberapa kali, maka audiens bisa beralih ke media yang lain.
Walaupun begitu, disiplin verifikasi bukan berarti menjadikan kerja jurnalis lebih lambat. Kecepatan juga penting, karena keterlambatan yang berulang-ulang juga akan membuat audiens berpindah ke media lain. Seperti kata surat kabar Boston Globe, “Tetap bermasalah jika kita terlambat, pembaca akan pindah ke saingan kita.”
Salah satu strategi yang sudah umum dilakukan oleh media massa daring adalah dengan melakukan update, running, atau pembaruan berita. Biasanya, di akhir artikel akan dicantumkan pernyataan bahwa berita akan terus diperbarui.
Kembali ke soal verifikasi, ada beberapa cara yang bisa dilakukan jurnalis untuk melakukan disiplin verifikasi. Pertama, cek ke berbagai sumber atas sebuah informasi yang diterima. Kedua, konfirmasi hal tersebut kepada ahli atau institusi terkait. Terakhir, lakukanlah double-checking.
Adapun bagi audiens, Springer menyarankan agar selalu membaca dari media-media yang memberikan sudut pandang berbeda. “Jadi kita bisa mengetahui dari semua sisi dan bisa mendapatkan gambaran (perspektif) yang lebih besar lagi, untuk memutuskan mana yang benar,” ujarnya.
Baca Juga: Praktik Kode Etik Jurnalistik Terhalang Gaji dan Tekanan Kerja
Penulis: Fauzi Ibrahim
Fauzi Ibrahim; mahasiswa Sastra Arab, penggemar AC Milan, dan penikmat musik black metal dan turunannya